Refleksi dan Proyeksi IMM (56tahun IMM)
(kepemimpinan IMM sebagai manifestasi
kepemimpinan profetik)
Jejak
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sejak periodesasi awal hingga paruh pertama
abad 21 kerap menampilkan sosok kepemimpinan profetik. Hal ini tidak terlepas
dari IMM sebagai gerakan mahasiswa Islam dan merupakan organisasi yang
dipayungi oleh Muhammadiyah sebagai organisasi induknya (Ortom). Tinta sejarah
mencatat nama-nama besar seperti; Mohammad
Djazman Al-Kindi, A. Rosyad Sholeh,
Moh. Amien Rais, Soedibjo Markoes, Zainuddin Sialla,
Sofyan Tanjung, dan kawan-kawan adalah sosok
yang kerap menampilkan wajah kepemimpinan Islam (profetik) di massa itu.
Tokoh-tokoh
pendiri IMM merupakan tokoh intelektual yang sangat dihormati pada saat itu,
Bung Djazman sebutannya sebagai kaum muda bukan hanya cakap dalam intelektual,
beliau juga memiliki tingkat religiusitas yang tinggi, dengan beberapa kader
awal saat itu adalah hafidz Quran dan hampir tak pernah meninggalkan
praktek-praktek ritual keagamaan.
Saat
ini IMM mengalami dinamika yang cukup kompleks. Organisasi yang lahir pada masa
gejolak politik, sosial dan ekonomi di Indonesia tersebut tidak jarang
dihadapkan pada benturan permasalahan, baik permasalahan internal maupun
permasalahan eksternal. Hikmat saya, permasalahan internal tersebut berkaitan
dengan masalah kepemimpinan IMM itu sendiri, sedangkan permasalahan eksternal
dapat dipahami sebagai posisi IMM dalam problematika sosial, ekonomi, pilitik,
dan kebangsaan. Hematnya, sejauh mana peran kepemimpinan IMM sebagai agen
perubahan bagi masyarakat dan negara.
Fenomena
kader ikatan saat ini masih sangatlah jauh dari profil Founding Father ikatan,
banyak kader ikatan yang begitu mudahnya terjebak dalam politik praktis hanya
karena takjub dan tergiur dengan tawaran partai politik. Pemahaman High
Politic dalam diri kader masih dipahami secara parsial dalam ghiroh
perjuangan, bahkan bersikap pragmatis. Hal ini menunjukkan pengikisan nalar
kritis kader ikatan karena banyak faktor yang melatar belakanginya termasuk
ambisi pribadi.
Fenomena
selanjutnya adalah minimnya budaya literasi. Banyak kader ikatan yang merasa
bahwa budaya literasi tidaklah menjadi prioritas utama dalam penguatan
pengetahuan misi ikatan. Padahal ayahanda kita saja memiliki budaya literasi
yang begitu kuat, rasanya tidak akan mungkin IMM dilahirkan dan disetujui
langsung oleh Presiden Ir. Soekarno jika tokoh pendirinya memiliki tingkat ke intelektualitasan
yang minim.
Selain
itu, minimnya jiwa religiusitas kader menjadi salah satu aspek dalam Tri
Kompetensi Dasar tentunya tidak bisa dikesampingkan begitu saja, banyak kader
ikatan yang masih begitu mudahnya takjub dengan pemikiran-pemikiran sekuler
atau pemahaman kidal tanpa menyeimbangkan dengan pemahaman agama Islam sebagai
nilai pertama dalam Enam penegasan IMM, hal ini menyebabkan bias identifikasi
antara kader ikatan dengan kader pergerakan nasionalis-sosialis. Kader ikatan
kehilangan jati dirinya sebagai anak kandung dari persyarikatan Muhammadiyah
yang berpedoman teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah.
Fakta
selanjutnya dari fenomena ini adalah minimnya etika komunikasi dalam jalannya roda
organisasi, banyak konflik dalam internal ikatan hanya karena kader ikatan tak
pandai merangkai kata dan seringnya justifikasi pada kader ikatan lain yang tak
se-pemahaman dengan dirinya. Padahal etika komunikasi merupakan hal yang sangat
penting dalam jalannya roda organisasi. Jangan harap akan terjadi konflik
vertikal jika kader ikatan masih sibuk pada konflik horizontal, bahkan masih
sibuk bergelut dengan konflik internal yang masih sering terjadi dari tataran
pusat sampai tingkat komisariat. Tentunya hal ini akan menjadi wacana belaka
dalam pencapaian misi ikatan dan persyarikatan jika kader ikatan belum bisa
menyelesaikan problema ini.
bertahun-tahun
sudah IMM menjalankan misi dakwahnya sebagai organisasi gerakan kemahasiswaan
yang mencerahkan. Fenomena-fenomena diatas sebenarnya bukan hanya menimpa kader
ikatan, namun secara umum telah menjadi problema kader gerakan kemahasiswaan
lain pasca-reformasi. Khusus Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
permasalahan diatas harus menjadi fokus utama penindak lanjutan oleh pemangku
jabatan dalam struktural ikatan. Optimisme bahwa IMM akan tetap bisa mengawal
bangsa menuju misi berkemajuan masihlah ada jika dalam benak kader ikatan masih
tersimpan rasa perjuangan yang semata-mata ikhlas untuk ikatan bukan untuk kepentingan
pribadi.
Jika
rasa semacam itu sudah terpatri maka misi berkemajuan akan menjadi keniscayaan.
Yang diperlukan adalah tangan yang tak ragu bergerak, lidah yang tak takut
berucap dan jiwa yang tak gentar pada rintangan. Maka mari bergerak satukan
rasa, jiwa dan perbuatan untuk membangun kader bangsa, kader umat, dan kader
perserikatan untuk mewujudkan kepemimpinan yang profetik nan Islami.
Penulis
: Memiliki Fikiran
Editor
:Zakiyah
Posting Komentar untuk "Refleksi dan Proyeksi IMM (56tahun IMM)"