Sikap IMM terhadap Suara Rakyat di Masa Pandemi Covid-19 (Omnibus Law)
Kebijaksanaan yang paling bijak
adalah saat perkataan dan perbuatan seiya sekata. – Elsya M. Lubis.
Kajian
Online mahasiswa yang diinisiasi oleh PC IMM JAKSEL, Selasa 18 Agustus 2020,
turut menghadirkan pembicara dari berbagai Pimpinan Cabang di wilawah DKI
Jakarta. Kajian terebut diisi oleh para ketua bidang Hikmah dan Kebijakan
publik, di antaranya Fadilah Mursyid dari PC IMM Jakarta Pusat, Tondi Alfaraby
dari PC IMM Jakarta Timur, Fazlur Fikri dari PC IMM Cirendeu, juga tuan rumah
dari PC IMM Jakarta Selatan Syamsul Arifin. Dimulai dari pukul 19.30 sampai
dengan 22.30 WIB, kajian serta diskusi yang dimoderatori Immawan Zulfikar
berjalan dengan cukup aktif. Peserta yang bergabung dalam diskusi yang
dilakukan secara daring melalui google meet tersebut mencapai kurang
kurang lebih 72 peserta dari berbagai kader IMM baik Jakarta maupun luar
Jakarta, di antaranya IMM Kota Tangerang dan IMM Luwuk Banggai, Sulawesi.
Tema
yang diangkat secara umum dalam diskusi tersebut yaitu mengenai RUU Omnibus Law
yang sedang diperjuangkan oleh pemerintah dan rakyatnya. Namun bentuk
perjuangan dari kedua belah pihak tersebut sangatlah bertolak belakang.
Pemerintah memperjuangkan agar RUU Omnibus Law ini tetap disahkan, oleh karena
itu DPR RI beserta Satuan Tugas Bersama (Task Force) yang dipimpin oleh
ketua umum KADIN (Kamar Dagang dan Industri) selaku tim perumus tetap melakukan
pembahasan RUU tersebut walaupun pandemi covid-19 belum juga selesai. Dalam
kajian tersebut Immawan Tondi berpendapat bahwa, “Sebenarnya masih banyak hal
yang lebih urgent yang harus dilakukan oleh pemerintah selain daripada
mengesahkan RUU Omnibus Law ini”.
Berbeda dengan
pemerintahnya, rakyat Indonesia yang juga sedang terkena dampak akibat wabah
virus corona juga harus berjuang agar RUU Omnibus Law tidak jadi disahkan.
Sebab setelah dikaji lebih lanjut oleh berbagai pihak baik dari organisasi
buruh, lingkungan, kerakyatan, serta mahasiswa dan pemuda, dinyatakan bahwa RUU
Omnibus Law ini sangat tidak pro-rakyat. Hal tersebut juga dikemukakan oleh
Immawan Fazlur yang mengatakan bahwa, “Ketika Omnibus Law diterapkan di Indonesia,
pemerintah seperti lebih mementingkan investor dari segi ekomoninya, sedangkan
jika ditinjau lebih dalam ternyata tidak pro terhadap rakyat. Maka tugas kita
adalah mengawal kepentingan rakyat, tapi kita juga harus mengawal kebijakan
pemerintah” .
“Adanya RUU
Omnibus Law ada baik dan buruknya, namun seharusnya pembentukan Undang-Undang
iniharus dilihat dari berbagai aspek, jadi jangan sampai ketika RUU ini
disahkan, malah menjadi buah simalakama yang akan merugikan rakyat. Memang
investor akan mudah masuk tapi akan mengekang masyarakat, jadi kita harus
memastikan hak-hak masyarakat tetap diutamakan oleh pemerintah” tambah Immawan
Tondi.
Adapun
tema khusus yang diangkat dalam kajian ini lebih kepada mendiskusikan lebih
lanjut perihal “sikap IMM terhadap suara rakyat dimasa pandemi covid-19”,
khususnya IMM Jakarta yang tampaknya belum juga memasifkan pergerakannya untuk
menolak RUU Omnibus Law ini. Oleh karena itu, kajian dan diskusi ini dilakukan
agar IMM DKI Jakarta yang berada di pusat pemerintahan, justru menjadi pelopor
dalam mengaspirasikan suara rakyat untuk IMM yang berada jauh dari ibukota. Kembali
Immawan Fazlur mengatakan bahwa “Belum adanya aksi nyata, bahkan kajian pun baru
sekali dua kali dilakukan. Padahal kita selaku mahasiswa seharusnya agresif
dalam merespon isu”.
Mengenai sikap
IMM, Immawan Tondi menjelaskan, “ Yang perlu dikaji adalah pemfokusan dan
penyatuan suara terhadap kebijakan mana yang harus kita dahulukan. Suara kita,
baik IMM pusat, daerah, cabang maupun komisariat belum satu suara mengenai
permasalahan yang ada. Di samping banyak
RUU yang harus kita kawal, di sisi lain adalah kita juga harus berpikir
bangaimana ketahanan pangan masyarakat di masa pandemi ini”.
Immawan Fadil
juga menambahkan, “Tentutnya kita memiliki dosa yang besar ketika pergerakan
ini mati suri seakan-akan kita menunggu arahan dari atasan, padahal yang di
bawah selalu mengkritisi”.
Sebelum
memaparkan lebih lanjut mengenai diskusi yang dilakukan, moderator, Immawan
Zulfikar menampilkan fakta mengenai berita pergerakan IMM daerah, di antanya:
1.
DPD IMM DIY
serahkan hasil kajian RUU Omnibus Law kepada Wakil Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan
(Sumber: Suara Muhammadiyah, 18 maret 2020)
2.
IMM Pekanbaru
yang tergabung dalam Cipayung Plus mengadakan Aksi di depan gedung DPRD dan
menyerahkan Pernyataan Sikap Penolakan RUU Omnibus Law (Sumber: Go.Riau.com)
3.
IMM Bojonegoro
melayangkan Surat Penolakan RUU Omnibus law kepada ketua DPRD Bojonegoro
(Sumber: kabarpasti.com, 15 Juli 2020)
Berita yang ditampilkan di atas, merupakan hasil penelusuran di
Google dengan kata kunci: Sikap IMM terhadap Omnibus, maka seperti yang
dipaparkan di atas, yang keluar adalah berita dari IMM di luar Jakarta. Hal
tersebut menjadi bukti bahwa memang pergerakan IMM di daerah Jakarta harus dipertanyakan.
Selanjutnya,
Immawan Zulfikar menanyakan perihal kesesuaian antara sikap dengan pergerakan
nyata yang dilakukan IMM khususnya di Jakarta. Tanggapan dari Immawan Tondi
adalah “Kita tidak perlu underestimate, namun pada hari ini banyak juga
yang telah melaksanakan kajian mengenai isu, walaupun belum mengkaji mengenai
langkah stategis apa yang harus kita lakukan. Yang harus dilakukan secara masif
adalah apa tujuan yang mau kita capai, kita hanya mengkaji, namun kedepannya
kita masih menunggu instruksi dari kakanda di atas. Jangan saling menyalahkan,
kita harus saling mengingatkan apa yang harus kita lakukan selanjutnya”,
bijaknya.
Immawan Fadil
tak mau ketinggalan memberikan tanggapan, ia mengatakan “Kaburo maktan ya,
kalau di dalam Al-Qur’an, mengatakan apa yang tidak kita lakukakn. Ya memang
kita tidak bisa su’uzhon dengan kakanda-kakanda kita yang berada di DPD dan DPP,
sebab Jakarta sendiri memang termasuk zona hitam maka banyak juga yang pulang
ke daerah asalnya. Terkait sikap ini, kita tidak boleh saling menyalahkan, ketika
ada yang tidur mengapa tidak dibangunkan? Kan seperti itu” ungkapnya.
Kembali moderator mengungkapkan fakta bahwa ketika yang lainnya,
baik dari oraganisasi mahasiswa, persatuan buruh, dan aktivis lingkungan lain
megadakan aksi untuk menolak RUU Omnibus Law di depan gedung MPR-DPR yang
memuncak pada 14 Agustus 2020 lalu, DPP IMM hanya memaklumatkan untuk
mengadakan aksi melalusi media sosial dengan hastag #TolakOmnibusLaw. Namun kenyatannya:
1.
Hastag
#TolakOmnibusLaw pada hari tersebut dan beberapa hari setelahnya, tidak menjadi
trending topic di Twitter
2.
Sama halnya
dengan di twitter, hastag #TolakOmnibusLaw juga hanya mencapai kurang dari 29k
postingan di media sosial instagram.
Jumlah postingan tersebut tentu sangat jauh jika kita melihat
jumlah seluruh kader IMM yang ada di Indonesia. Fakta tersebut semakin
membuktikan bahwa antara sikap dengan pegerakan yang dilakukan oleh IMM masih
tidak sesuai. Bahwa ketika ditanya mengenai sikap, IMM tentu mengatakan bahwa
sepenuhnya menolak akan adanya RUU tersebut, tapi ketika ditinjau dari apa yang
telah dilakukan? Bisa dilihat sendiri. Terutama bagi IMM Jakarta yang merupakan
wilayah ibukota, pusat dari pemerintahan yang justru seharusnya menjadi pelopor
bagi IMM daerah.
Setelah pemaparan tersebut dari
modertor, Immawan Tondi memberikan tanggapanya bahwa “Pimpinan pusat mungkin
yang masih belum sepenuhnya mengakomodir tingkatan yang ada di bawahnya dengan
mempertimbangkan hasil kajian yang telah dilaksakana dari tingkat bawah,
sehingga keputusannya pun akan sesuai dan tidak terjadi perbedaan pergerakan
seperti ini. Seharusnya kita menyatukan frame tujuan kita agar
pergerakan kita lebih masif lagi sehigga tidak ada pegerakan yang sendiri
sendiri”.
“Merupakan hal yang wajar ketika
tidak satu pergerakan, namun bukan berarti kita harus menghakimi, tapi kita
harus menegur secara personal” tambah Immawan Fazlur.
“Mungkin adanya kekecewaan dari
tingkat bawah kepada tingkat atas. Jangankan aksi di media sosial, aksi
langsung untuk mengawal kasus immawan Randi saja yang datang hanya 21 orang,
tempo lalu” tambahan dari Immawan Syamsul.
Immawan Fazlur menjelaskan, bahwa
IMM ibukota memakai pola pergerakan yang high, membutuhkan massa, jadi
ketika massanya sedikit maka pergerakan akan lemah. Namun ketika IMM di daerah
hanya memiliki 5 orang massa pun mereka akan tetap berjalan dengan membawa
bahan kajian. IMM daerah pun cukup baik dalam mengelola SDM yang ada, berbeda
dengan IMM DKI yang masih ada kepentingan eksistensi. Kita di Jakarta itu
terlalu enak dengan zona kita, maka kita lengah terhadap tugas-tugas kita.
Padahal IMM daerah menginginkan untuk IMM DKI ini lebih masif agar diliput dan membawa nama IMM seluruhnya. Sebab IMM
daerah yang pergerakannya masif, jarang diliput sehingga kurang berpenaruh
terhadap nama IMM itu sendiri dikancah dunia”.
Immawan Fadil menyepakati bahwa
“Kita merasakan betul bahwa antara kota dengan daerah memiliki kesulitan yang
berbeda, namun tugas kita sama. Sepakat dengan Fazlur, bahwa IMM kota terlalu
nyaman, tapi kita tidak bisa menyalahkan orang lain, yang bisa disalahkan
adalah diri sendiri mengapa kita tidak membangunkan yang lain. Yang perlu
ditingkatkan juga adalah literasi baik dari membaca, maupun berdiskusi”.
”Dilihat dari sejarah, memang
Jakarta bukan pusat dari pergerakan, Muhammadiyah sendiri tidak berani mengakui
bahwa Jakarta adalah pusat dari pergerakan walaupun Jakarta merupakan pusat
pemerintahan. Dan dilihat sebelumnya pun, dari zaman dulu pergerakan tidak
lahir di Jakarta. Terlebih lagi, motif akan berpengaruh terhadap motivasi,
ketika motif tidak sesuai dengan yang kita inginkan maka tidak akan ada motivasi.
Di Jakarta terlalu banyak ujian yang bermacam-macam. Bahkan orang daerah yang
jauh datang ke jakarta untuk berorganisasi akan terkotak-kotakkan sendiri
dengan paguyuban” tambah Immawan Syamsul dengan berapi-api.
Pertanyaan dari
moderator untuk mengakhiri diskusi pada malam hari itu adalah “pergerakan apa
selanjutnya yang akan dilakukan setelah kajian ini berakhir? Agar
merealisasikanpergerakan nyata dari IMM
Jakarta” tanya Immawan Zulfikar kepada pembicara.
Jawaban pertama oleh Immawan Syamsul
yang mengatakan bahwa ”Sekiranya kita sudah satu frame dalam hal ini,
maka sebaiknya kita juga ikut bergabung dalam aksi yang akan diadakan tanggal
25 nanti. Cukup singkat, jelas, dan tegas.
Immawan Fazlur menambahkan, “Kita
sudah satu frame namun kita butuh kajian lebih masif lagi jika memang
ingin meramaikan tanggal 25 nanti.” Namun ia juga memberikan saran “tanggal 25
nanti itu lebih rencana dari buruh, namun kalau bisa kita IMM mengadakan aksi
sendiri untuk memerahkan gedung DPR RI”tambahnya.
Immawan Fadil juga menjawab dengan
cukup singkat bahwa “Perlu adanya diskusi lebih lanjut dengan pengurus lainnya.
Namun secara pribadi kita harus ikut serta.”
Sama halnya dengan Immawan Fadil,
Immawan Tondi juga mengatakan bahwa “Harus dibahas lagi lebih lanjut karena
butuh kajian di internal. Tapi kita memang seharusnya ada langkah nyata terkait
hal ini. Di mana kita sama-sama satu tujuan yang akan kita merahkan juga. Jadi
harapannya adalah kajian ini tidak berhentidi sini saja” tutupnya.
Dengan berakhirnya
jawaban dari pertanyaan terakhir yang diajukan oleh moderator maka berakhir
pula kajian yang diadakan pada malam itu. Ke depannya tinggal menunggu rencana
selanjutnya yang akan dilakukan oleh IMM Jakarta untuk dapat merealisasikan
pergerakan nyata sebagai ujud dari hasil kajian yang telah dilakukan tersebut.
Billahi fii sabililhaq fastabiqul khairat
Penulis : Elsya M. Lubis
Editor : Zakiyah
Posting Komentar untuk "Sikap IMM terhadap Suara Rakyat di Masa Pandemi Covid-19 (Omnibus Law)"